TANGKUBANPARAHU, Jawa Barat
Compiler : Rudi D. Hadisantono (rudal@vsi.esdm.go.id)
Editor : Mas Atje Purbawinata, Asnawir Nasution
Keterangan Umum
Nama Gunungapi | : | G. Tangkubanparahu |
Nama Lain | : | - |
Nama Kawah | : | Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Domas, Kawah Jarian dan Pangguyangan Badak |
Lokasi a. Administrasi b. Posisi Geografi | : : | Sebagian termasuk wilayah Kab. Subang dan sebagian lagi termasuk wilayah Kab. 6°46’ LS dan 107° 36’BT Atlas Trop. Nederl. 1938, Lemb. 20 |
Ketinggian | : | a. 2084 m dpl (Stehn, 1929) b. 1300 m di atas dataran tinggi Bandung |
Tipe Gunungapi | : | Strato dengan kawah ganda |
Pendahuluan
a. Cara pencapaian
Puncak G.Tangkubanparahu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor beroda 2 maupun roda 4 dari arah
b. Demografi
Di antara kota-kota di sekitarnya Lembang selain merupakan
c. Inventarisasi Sumberdaya Gunungapi
Hasil erupsi G.Tangkubanparahu pada masa lalu telah menghasilkan banyak batuan yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan baik berupa PAD maupun pendapatan masyarakat yang berada di sekeliling lerengnya. Produk erupsi tersebut terdiri atas: batuan keras (lava), pasir/ tras, lapisan abu halus warna hitam yang biasa disebut tanah Lembang. Disamping itu juga terdapat travertin dan mata air panas yang merupakan produk tidak langsung dari kegiatan gunungapi.
d. Wisata
Tangkubanparahu mempunyai alam yang indah sebagai tujuan wisata seperti komplek kawah di daerah puncak, perkebunan teh, air terjun, peneropongan bintang Boscha di Lembang, danau (situ) Lembang, pusat perkemahan di Ciikole, pemandian air panas di Ciater dan Maribaya.
Mitigasi Bencana Gunungapi
Usaha mitigasi untuk mengantisipasi kemungkinan erupsi pada waktu yang akan datang selain pemantauan secara visual juga dilakukan pemantauan secara instrumental. Usaha mitigasi lainnya berupa pembuatan peta kawasan rawan bencana, peta zona risiko bahaya gunungapi, penelitian deformasi, geokimia, dan geofisika yang dilakukan secara berkesinambungan.
1 Pemantauan visual
Pemantauan secara visual meliputi pengukuran suhu, ketinggian asap, warna asap, arah tiupan angin dan pH. Pemantauan secara instrumental mencakup kegempaan dengan sistem radio telemetri (RTS), kemagnetan.
2 Pemantauan instrumental
Pos Pengamatan G. Tangkubanparahu dibangun di lereng timur gunungapi Tangkubanparahu. Pos Pengamatan ini dilengkapi dengan satu unit seismograf, sementara sebuah komponen seismometer vertikal dipasang di daerah Kawah Ratu. Gerakan getaran gempa dipancarkan dan direkam di Pos Pengamatan secara telemetri. Kegempaan yang terekam terdiri atas gempa tektonik, gempa vulkanik dangkal atau gempa tipe –B dan gempa vulkanik dalam atau gempa tipe-A. Sementara ini kejadian gempa banyak didominasi oleh gempa tipe-B. Kemunculan gempa-gempa tektonik biasanya berasosiasi dengan kegiatan Sesar Lembang. Pada tahun 1993 terjadi erupsi freatik yang diikuti oleh peningkatan jumlah gempa tipe-B.
SEJARAH LETUSAN
Erupsi Tangkubanparahu dewasa ini tergolong fasa C, berupa erupsi esplosif yang kecil-kecil saja dan kadang-kadang diselingi oleh erupsi freatik. Secara nyata ikhtisar erupsinya dapat diuraikan sebagai berikut:
1829
1846
1896
1900 1910
1926
1935
1952 1957 1961, 1965, 1967 1969 1971 1983 1992
1994 | erupsi abu dan batu dari kawah Ratu dan Domas terjadi erupsi, peningkatan kegiatan terbentuk fumarol baru di sebelah utara kawah Badak erupsi uap dari kawah Ratu kolom asap membubung setinggi 2 km di atas dinding kawah, erupsi berasal dari kawah Ratu erupsi freatik di kawah Ratu membentuk lubang Ecoma lapangan fumarol baru disebut Badak terjadi, 150 m ke arah selatan baratdaya dari kawah Ratu erupsi abu didahului oleh erupsi hidrothermal (freatik) erupsi freatik di kawah Ratu, terbentuk lubang kawah baru erupsi freatik erupsi freatik didahului oleh erupsi lemah menghasilkan abu erupsi freatik awan abu membubung setinggi 159 m di atas Kawah ratu peningkatan kegiatan kuat dengan gempa seismik dangkal dengan erupsi freatik kecil erupsi freatik di kawah Baru | |
Karakter letusan
Menurut van Bemmelen (1934) dalam Kusumadinata (1979) bahwa G. Tangkubanparahu tumbuh di dalam Kaldera Sunda sebelah timur. Berdasarkan coraknya, erupsi Tangkubanparahu dapat dibagi tiga fase yaitu:
a) Fasa esplosif yang menghasilkan piroklastik dan mengakibatkan terjadinya lahar
b) Fasa efusif yang menghasilkan banyak aliran lava berkomposisi andesit basaltis
c) Fasa pembentukan/pertumbuhan Tangkubanparahu sekarang umumnya esplosif kecil-kecil dan kadang diselingi erupsi freatik
Periode letusan
Berdasarkan sejarah kegiatannya, periode letusan Tangkubanparahu berkisar antara 2 – 50 tahun.
GEOLOGI
Fisiografi
Tangkubanparahu dan gunung-gunung lainnya di sekitar
Morfologi
Morfologi gunungapi ini dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi utama yaitu : kerucut strato aktif, lereng tengah dan kaki. Kerucut strato aktif menempati bagian tengah kaldera Sunda. Kawah- kawah gunungapi ini membentang dengan arah barat-timur. Beberapa kawah terletak di daerah puncak dan beberapa lainnya terletak di lereng timur. Kerucut strato aktif ini tersusun dari selang-seling lava dan piroklastik dan di bagian puncak endapan freatik.
Pola radier dengan bentuk lembah V, beberapa air terjun yang sangat umum ditemukan pada satuan morfologi ini. Morfologi lereng tengah meliputi lereng timurlaut, selatan dan tenggara gunungapi ini. Batuannya terdiri atas endapan piroklastik yang sangat tebal dan lava yang biasanya tersingkap di lembah-lembah sungai yang dalam dengan pola aliran sungai paralel dan semi memancar (semi radier). Lereng selatan dan tenggara terpotong oleh sesar Lembang, yang berarah timur-barat.
Kaki selatan menempati bagian lereng tenggara dan selatan, yang terletak pada ketinggian antara 1200 m hingga 800 m dan antara 1000 hingga 600 m di atas permukaan laut. Lereng timurlaut mempunyai pusat-pusat erupsi parasit seperti G. malang, G. Cinta dan G. Palasari. Aliran-aliran lava dan skoria berwarna kemerahan yang menempati sebagian besar daerah kaki ini adalah berasal dari pusat-pusat erupsi ini. Pola aliran sungai yang berkembang di daerah ini adalah paralel dengan bentuk lembah U yang melewati batuan keras.
Lereng selatan terletak antara sesar Lembang dan dataran tinggi Bandung di selatan. Bagian terbesar daerah ini dibentuk oleh batuan piroklastik dan endapan lahar, sedangkan lava ditemukan di dasar sungai. Pola aliran sungai yang berkembang di dalam satuan morfologi ini adalah paralel.
Sruktur geologi
Sesar Lembanng adalah sebuah sesar terbesar di daerah ini, yang melintang darti barat ke timur. Sesar ini terletak atau melalui Lembang dari mana nama sesar ini berasal yang kira-kira 10 km sebelah utara Bandung. Ini adalah sebuah sesar aktif dengan gawir sesar sangat jelas yang menghadap ke utara. Sesar ini yang panjang seluruhnya kira-kira 22 km dapat diamati sebagai suatu garis lurus dari G. Palasari di timur ke barat dekat Cisarua. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu telah menghubungkan bahwa sesar Lembang yang dominannya adalah sesar normal terjadi setelah letusan besar G. Sunda yang berlangsung pada zaman Kuarter Tua.
Sejarah geologi
Sejarah G. Tangkubanparahu dimulai dengan adanya komplek gunungapi tua yang disebut komplek G. Sunda. Dalam sejarah geologi G. Sunda berumur relatif muda. Beberapa dari dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini dapat diukur dalam ribuan tahun. Komplek G. Sunda adalah sebuah gunungapi majemuk yang terdiri atas tiga buah tubuh, dua diantaranya telah padam dan yang ketiga yaitu Tangkubanparahu masih aktif. Gunungapi ini dibangun di atas batuan dasar sedimen berumur Neogen. Gunungapi tertua yang telah padam yang disebut G. Sunda mempunyai sebuah kaldera besar. Hanya sebagian dari pada kaldera ini yang masih tersisa antara G. Burangrang dan G. Tangkubanparahu. Danau (situ) Lembang adalah bagian dari pada dasar kaldera ini. Menurut van Bemmelen (1934), pada tahap pasca pembentukan kaldera sesar Lembang ini terbentuk. Kejadian tersebut diikuti oleh lahirnya G. Burangrang, sekarang gunungapi tersebut telah padam, dan terakhir G. Tangkubanparahu terbentuk.
Stratigrafi
Lapisan tertua di daerah ini terdiri atas lempung napalan berselingan dengan perlapisan tufa dan terumbu koral berumur Miosen. Batuan tersebut tersingkap di S. Citarum di sebelah baratdaya Tangkubanparahu dan di dataran rendah Purwakarta dan Subang. Di beberapa daerah terumbu koral ini sebagian termalihkan menjadi marmer karena kontak dengan lava. Lapisan ini kemudian diintrusi (diterobos) oleh batuan vulkanik berumur Pliosen terdiri atas andesit hornblende dan dasit. Batuan tersebut tertindih oleh andesit hornblende, breksi kasar dan konglomerat.
Suatu periode kegiatan vulkanik (gunungapi) baru dimulai di sebuah komplek sebelah utara
Produk-produk G. Sunda terdiri atas lava, jatuhan piroklastik, aliran piroklastik, lahar dan endapan freatik.
Petrografi
Endapan aliran piroklastik di sekitar G. Tangkubanparahu adalah alkali kapur (calk - alkaline) berasosiasi dengan rangkaian toleitik, yang termasuk dalam seri andesit basalt sampai andesit. Pengelompokan tipe magma dalam seri ini adalah berdasarkan kandungan silika seperti diklasifikasikan oleh
GEOFISIKA
Penyelidikan
Metoda gaya berat pada dasarnya adalah mengukur besaran densitas batuan. Inhomogenitas batuan pembentuk litosfer akan memberikan kontras densitas batuan yang merupakan sasaran dalam pengukuran dengan metode ini, dimana keterdapatan struktur maupun perubahan jenis batuan baik secara vertikal maupun horisontal terdeteksi. Metoda gaya berat merupakan salah satu metoda penyelidikan dengan menggunakan hukum Newton II tentang gracitasi, yang mengukur adanya perbedaan kecil dari massa bumi yang besar. Perbedaan terjadi karena distribusi massa yang tidak meratanya distribusi massa jenis batuan. Adanya perbedaan massa jenis batuan dari suatu tempat dengan tempat lain, akan menimbulkan medan gaya berat yang tidak merata, dan perbedaan inilah yang terukur di permukaan bumi.
Karena perbedaan gaya berat di suatu tempat dengan tempat lain relatif kecil, maka diperlukan alat ukur yang peka terhadap perbedaan tersebut dan alat tersebut disebut gravimeter. Hasil pengukuran gaya berat kemudian dikoreksi dengan berbagai koreksi yaitu koreksi pasang surut, koreksi drift, koreksi udara bebas, koreksi Bouguer, koreksi medan dan koreksi lintang sehingga menghasilkan suatu nilai anomali Bouguer.
Hukum Newton II menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua benda yang masing-masing mempunyai massa m1 dan m2 dengan jarak r, dirumuskan sebagai berikut:
F(r) = G m1m2
R2
Dimana | F | = | |
| r | = | Jarak antara dua |
| m1,m2 | = | |
| G | = = | Konstata umum gayaberat 6.67 x 10-11m3/kg det3 |
Dalam metoda gayaberat, hanya komponen vertikal yang digunakan karena hanya komponen ini terdeteksi oleh instrumen gayaberat. Satuan yang digunakan dalam penyelidikan gayaberat adalah Gal (1 gal = 1 cm/det2).
Kenyataan bahwa bumi tidak bulat, tidak homogen dan tidak isotropis ditunjukkan dengan adanya harga percepatan gayaberat yang bervariasi untuk masing-masing tempat. Variasi ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanya suatu perbedaan massa jenis batuan pembentuk litosfer, perbedaan ketinggian, perbedaan posisi geografi dan akibat perbedaan posisi bulan terhadap bumi. Hal-hal ini merupakan koreksi dari pengukuran perbedaan gravitasi di lapangan.
Pengambilan data lapangan gayaberat dilakukan di 195 titik lokasi pengukuran, yang tersebar secara acak (random) di sekitar G. Tangkubanparahu dan bagian puncaknya. Pengukuran gayaberat dilakukan dengan menggunakan satu buah alat gravimeter, LACOSTE & ROMBERG, TYPE D-117, dimana pembacaan maksimum alat pada skala 200. Pengambilan data lapangan menggunakan sistem looping, agar setiap titik amat di lapangan dapat terikat dan dikoreksi terhadap harga awal di BS, yang terletak jauh dari titik BS, maka dibuat titik bantu yang tetap dan diikat terlebih dahulu terhadap BS, sebelum titik lokasi pengambilan data di sekitar titik bantu diukur.
Pengolahan data lapangan dilakukan dengan melakukan konversi harga pembacaan pada skala gravimeter terlebih dahulu. Untuk mendapatkan harga pembacaan dalam milligal (1 gal = 1cm/det2) dari hasil pembacaan alat, La Coste Romberg inc. telah membuat suatu tabel konversi untuk setiap nomor skala gravimeter. Pada gravimeter La Coste Romberg model D 117, untuk setiap 10 unit counter mempunyai harga tertentu dalam milligal, dan setiap interval 10 unit counter mempunyai faktor interval.
Disamping konversi harga pembacaan, tindakan selanjutnya adalah melakukan reduksi dengan cara melakukan berbagai koreksi terhadap hasil konversi seperti telah disebutkan pada paragraf sebelumnya.
Hasil pengolahan data gayaberat G. Tangkubanparahu diinterpretasi-
Dari hasil interpretasi pengolahan data dapat disimpulkan bahwa pola anomali gayaberat G. tangkubanparahu memberi gambaran bahwa kaldera Sunda, sebagai hasil letusan paroksisma G. Sunda mempunyai harga positif menyebar dari selatan-utara-baratlaut dan timurlaut.
Sebaran harga anomali gayaberat rendah di dalam Kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan adanya sesar sebagai zona lemah, yang dapat memberikan kemudahan terjadinya intrusi magma melalui bidang ini, dan menyebabkan terbentuknya dyke (Palgunadi & Y. Hidayat, 2000).
G.Tangkubanparahu muncul pada bidang sesar berarah barat-timur, Zona lemah yang terdapat di bagian selatan dan barat memungkinkan berlangsungnya aktifitas G. Tangkubanparahu sekarang. Perpindahan kawah-kawah G. Tangkubanparahu akan mengikuti arah bidang sesar ini (Palgunadi & Hidayat, 2000). Harga anomali rendah di selatan Lembang diperkirakan berasosiasi dengan keberadaan sesar Lembang. Sturuktur sesar ini ditampilkan dengan jelas oleh pola anomali sisa magnet. Sumber air panas di Ciater kemungkinan akibat adanya pemanasan air bawah tanah yang berasal dari G. Tangkubanparahu mengalir melalui bidang sesar (Hadisantono & Soetoyo, 1983, Palgunadi & Hidayat, 2000).
Penyelidikan geomagnet
Penyelidikan geomagnet di G. Tangkubanparahu dilakukan dengan maksud untuk membuat peta anomali magnet dengan tujuan mengetahui pola sebaran batuan dan kondisi geologi serta stuktur daerah tersebut berdasarkan pola anomalinya.
Pada dasarnya penyelidikan magnet adalah mengukur besaran magnet bumi yang ditimbulkan oleh berbagai sumber, baik yang ada di dalam perut bumi itu sendiri maupun adanya pengaruh luar, seperti radiasi matahari. Medan magnet bumi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu medan magnet total/regional dan magnet lokal.
Jika F adalah komponen medan magnet total dengan inklinasi I dan deklinasi D, maka hubungannya dengan komponen horizontal H dan vertikal Z adalah seperti berikut:
F2 = H2 + Z2= X2 + Y2 + Z2
H = F cos i, Z = f sin i, tan I= Z/H
X = H cos d Y = H sin d tan d = Y/X
Berdasarkan beberapa parameter seperti gaya magnet, kuat medan magnet, momen magnet, intensitas magnetisasi dan suseptibilitas magnet, maka peta anomali kemagnetan di G. Tangkubanparahu dapat diperoleh dan diinterpretasikan baik untuk penyebaran batuan, kondisi geologi maupun struktur geologi yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan interpretasi hasil penyelidikan geomagnet oleh S. Palgunadi & Y. Hidayat, 2000 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pola anomali magnet G. Tangkubanparahu memberi gambaran prakiraan kaldera Sunda dengan bentuk elips relatif berarah tenggara-baratlaut.
Sebaran anomali magnet tinggi dengan membentuk kelurusan bulatan-bulatan kontur di dalam kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan terdapatnya batuan terobosan (dyke?) melalui sesar barat-timur melewati puncak, dimana hal ini didukung oleh terdapatnya harga positif dari anomali gaya berat.
G. Tangkubanparahu muncul pada jalur sesar berarah barat-timur, dimana sebagian intrusi magma telah membeku membentuk suatu dike. Zona lemah yang terdapat di dagian selatan dan barat, memungkinkan berlangsungnya aktifitas G. Tangkubanparahu saat ini. Perpindahan titik-titik aktivitas (kawah) G. Tangkubanparahu mempunyai trend arah sesar yaitu barat-timur.
Struktur sesar sangat menonjol ditampilkan oleh pola anomali sisa magnet (Contoh: Sesar Lembang). Sumber air panas di Ciater, dimungkinkan akibat adanya pemanasan air bawah permukaan yang berasal dari G. Tangkubanparahu yang mengalir melalui bidang sesar.
Penyelidikan Deformasi
Penyelidikan deformasi dimaksudkan untuk mengetahui perubahan bentuk yang terjadi akibat adanya dorongan magma dari dalam dapur magma (pembubungan) sehingga terjadi penggembungan tubuh gunungapi pada saat gunungapi akan meletus. Setelah terjadi letusan biasanya tubuh gunungapi tersebut akan mengempis kembali, bahkan sering lebih kecil atau di bawah kondisi semula. Perubahan bentuk tersebut bervariasi antara 30 cm – 1m bahkan G. St. Helens mencapai 2m/hari selama hampir 6 minggu sebelum meletus pada bulan Mei 1980. Dengan pengukuran yang teliti dan berkelanjutan menggunakan tiltmeter yang peka maka perubahan tersebut dapat diukur.
Pengukuran deformasi jarak horizontal di Tangkubanparahu dilakukan dengan cara mobile dan permanen dengan menggunakan Range Master III dan Distomat (DI 20). Lintasan terjauh pengukuran jarak horizontal adalah antara Kawah Baru -- Gunung Malang dan RT-1 – Gunung Malang. Untuk mengetahui kemampuan peralatan distomat telah digunakan pengukuran terhadap jarak lintasan RT 1 – G. Malang dengan jarak 5.583.974 mm dan Wates KRT II sejauh 2.487.506 mm. Reflektor yang digunakan adalah reflektor K & E dan reflektor Sokisha sebanyak 1 reflektor, 2 reflektor dan 3 reflektor. Dengan menggunakan cara tersebut, ternyata bahwa dengan menggunakan 1 reflektor tidak bisa memperoleh sinar balik yang dikirimkan dari alat baik oleh reflektor K & E maupun reflektor Sokisha (RT I- G. Malang). Lain halnya dengan menggunakan dua reflektor, atau 3 reflektor untuk jarak lintasan RT I – G. Malang.
Pengukuran lainnya yaitu jarak Wates – RT II dengam menggunakan satu reflektor baik reflektor K & E maupun Sokisha, memperoleh sinar balik yang memuaskan. Dari hasil pengukuran tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa penggunaan alat ukur distomat (DI 20) untuk jarak 2-3 km dapat digunakan satu reflektor. Untuk memperoleh nilai jarak horisontal dari mark ke mark digunakan rumus koreksi PPM yang berbeda.
Berdasarkan analisis data hasil pengukuran deformasi yang dilakukan diperoleh suatu asumsi bahwa tidak terlihat suatu pembubungan tubuh gunungapi, bahkan terlihat suatu pola pengkerutan yang menunjukkan relatif tidak adanya suatu stress magma yang mengakibatkan suatu inflasi tubuh gunungapi, bahkan sebaliknya terlihat adanya suatu pola pengempisan. Adanya suatu pola pengempisan ini dapat mengindikasikan bahwa kegiatan gunungapi tersebut mengalami penurunan (Said, 1988).
Penyelidikan Potensial Diri (Self potential)
Penyelidikan potensial diri (SP) di G. Tangkubanparahu tidak dilakukan secara reguler namun hanya insidentil. Penyelidikan potensial diri (SP) dilakukan dengan maksud untuk mengetahui adanya anomali suhu yang menonjol dan hubungannya dengan topografi gunungapi. Gradien suhu, variasi komposisi batuan (lava, endapan jatuhan piroklastik, endapan awan panas & endapan freatik) dan adanya pelepasan gas-gas vulkanik dari magma merupakan faktor penunjang adanya anomali potensial diri.
Penyelidikan potensial diri/tahanan jenis yang pernah dilakukan di G. Tangkubanparahu adalah di daerah kawah Ratu dan Kawah Upas. Hasil penyelidikan yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara SP dengan zona panas adalah sangat erat. Di dalam kawah Upas tidak didapatkan anomali +, namun pada batas antara kawah Upas dan Ratu, anomali + tertinggi yang menerus ke kawah Ratu. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi zona panas didapatkan pada sektor tersebut. Adanya anomali + dan – di daerah ini dapat diterangkan dengan sistem panasbumi sebagai efek elektro-filtrasi (L.Ramli dkk, 1984).
Di satu fihak, daerah-daerah panas (fumarola) dimana uap air naik akibat pemanasan dari bawah menyebabkan anomali +, di lain fihak, dapat digambarkan bahwa adanya zona-zona kondensasi air yang turun lewat gravitasi membentuk sistem kecil panas bumi. Ketelitian ini dapat menghasilkan anomali negatif yang dapat digunakan untuk membatasi zona fumarola dengan ketelitian tertentu (L.Ramli dkk, 1984).
GEOKIMIA
Kimia gas
Beberapa ahli gunungapi berpendapat bahwa gas vulkanik yang berakumulasi di dalam dapur magma berfungsi sebagai motor penggerak magma. Dalam kegiatannya ataupun bila terjadi peningkatan kegiatan gas-gas vulkanik tersebut akan keluar ke permukaan terlebih dahulu karena lebih ringan daripada material dalam bentuk cair/fluida atau padat.
Penyelidikan geokimia di gunungapi dimaksudkan untuk mengetahui perubahan tingkat kegiatan gunungapi, bahkan hingga pada peramalan letusan. Adanya peningkatan suhu jauh di bawah permukaan akan mempengaruhi komposisi dan konsentrasi gas yang dikeluarkan ke permukaan melalui lubang kepundan. Dengan menggunakan teknik tertentu diambilah conto-conto gas yang kemudian dianalisis di laboratorium dengan beberapa metode, maka diperoleh kandungan unsur-unsur kimia gas. Pengambilan conto gas dilakukan di Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah baru dan kawah Domas.
Secara umum gas vulkanik G. Tangkubanparahu yang dikeluarkan dari tiap lubang solfatara dicirikan oleh besarnya kandungan belerang dan uap air. Kadar uap air ditentukan dengan perhitungan berat menggunakan P2O5 kering sebagai penyerapnya. Hasil analisis conto-conto tersebut menunjukkan kandungan unsur-unsur Kalsium, Magnesium, Silikat, Besi, Sulfat, Klorida, Natrium, Kalium dan Lithium relatif tinggi, sedangkan unsur Kalsium, Magnesium, Natrium dan Kalium dipergunakan untuk menghitung besarnya suhu bawah permukaan dengan beberapa grafik standar (Sriwana, 1985).
Kimia batuan/petrokimia (lava)
Pemeriksaan petrokimia aliran lava G. Sunda dan G. Tangkubanparahu menunjukkan bahwa gunungapi Sunda bersumber pada kegiatan erupsi magmatis dari kelompok dioritik gabro dan dioritik termasuk seri alkali kapur kaya akan alumina tinggi berasosiasi dengan magma toleitik. Penyebaran lava selama kegiatan erupsi cenderung bersusunan andesit augit hipersten dan andesit basal augit hipersten (Syarifudin, 1984).
Penerapan metoda petrokimia melalui diagram Hutchison (1973) dapat menjelaskan bahwa proses magmatis gunungapi Sunda dari alkali kapur sangat kaya alkali terutama K2O dan Na2O, sedangkan magma seri toleitik sangat miskin alkali tersebut di atas (Syarifudin, 1984). Seri alkali kapur ini menunjukkan semakin meningkatnya kadar oksida besi dan oksida MgO relatif tinggi dibandingkan dengan magma seri toleitik, erat hubungannya dengan terbawanya mineral magnetit, piroksen dan olivin dalam bentuk asosiasi dengan magma toleitik.
Proses magmatis Gunungapi Tangkubanparahu bersumber pada seri alkali kapur alumina tinggi dan seri alkali kapur K-tinggi. Magma seri alkali kapur alumina tingi kaya akan CaO dan Al2O3 . Seri alkali kapur K-tinggi cenderung relatif kaya akan Na2O dan K2O dibandingkan dengan magma seri alkali kapur alumina tinggi. Ciri lain yang dapat dijelaskan adalah bahwa seri alkali kapur alumina tinggi relatif kaya akan oksida MgO sedangkan seri alkali kapur K-tinggi relatif meningkatnya oksida besi FeO.
Secara petrografi, lava Tangkubanparahu terbagi atas lava andesit basal augit hipersten, lava basal pigeonit enstatit dan andesit augit hipersten. Penghabluran plagioklas, piroksen augit, hipersten dan olivin serta oksida bijih dalam wujud fenokris mikro dan makro sebagai
Secara kimia, keaktifan Gunungapi Tangkubanparahu bersumber pada magma
a. alkali kapur alumina tinggi dari andesit basaltis sampai basal dan
b. alkali kapur K-tinggi dari andesit basaltis sampai basalt
Gunungapi Tangkubanparahu mempunyai ciri petrokimia cenderung pada kelompok (a) magma dioritik gabro dan (b) magma dioritik (Syarifudi, 1984). Gunungapi Tangkubanparahu mempunyai sumber keaktifan magma pada kedalaman Zona Beniof antara 155-205 km. Berdasrakan metoda Indek Mafik oleh Tlley et.al, 1964 dalam Syarifudin (1984) mempunyai temperatur magma antara 1010° C– 1220° C.
MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi
Letusan G. Tangkubanparahu dapat digolongkan sebagai letusan kecil. Leleran lava diperkirakan kemungkinannya terjadi. Menurut Klompe (1954),
A. Kawasan Rawan Bencana II
Secara umum yang disebut kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda oleh awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun). Kawasan ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kawasan rawan bencana terhadap aliran
2. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan seperti lontaran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
Add a). Untuk Tangkubanparahu, bahaya aliran
Add b). Bencana terhadap lontaran batu (pijar), hujan abu lebat dan hujan lumpur (panas) kemungkinan dapat melanda daerah sekitar puncak hingga radius 3 km dari pusat letusan (berdasarkan sejarah kegiatan masa lalu dan data geologi yang ada).
B. Kawasan Rawan Bencana I
Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Kawasan ini terletak di sepanjang sungai/ di dekat lembah sungai atau bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu (pijar).
Kawasan rawan bencana I juga terbagi menjadi dua, yaitu :
1. a) Kawasan rawan bencana terhadap aliran
2. b) Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu (pijar). Berdasarkan data geologi, daerah yang dapat terkena hujan abu Daerah di Kawasan Rawan Bencana I yang berpotensi dilanda bahaya kemungkunan lontaran batu mencapai radius 3 km dari pusat erupsi. Sedangkan kawasan yang berpotensi dilanda jatuhan piroklastik (hujan abu) dapat mencapai radius 5 km dari pusat erupsi.
Zona Risiko Bahaya Gunungapi Tangkubanparahu
Daerah gunungapi selain dapat menimbulkan bencana juga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Di dalam masa pembangunan ini perlu kiranya dilakukan usaha untuk membantu penyusunan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan di daerah gunungapi, sehingga manfaatnya bagi kesejahteraan hidup dapat dipergunakan seoptimal mungkin, namun risiko bahaya gunungapinya dapat ditekan seminimal mungkin.
Pemetaan zona risiko bahaya gunungapi dimaksudkan untuk memberikan layanan informasi kepada Pemerintah Daerah setempat dan masyarakat umum tentang tingkatan risiko yang timbul sebagai akibat erupsi G. Tangubanparahu dan hubungannya dengan pengembangan pembangunan di kawasan gunungapi ini.
Metoda Pemetaan Zona Risiko Bahaya Gunungapi
Metoda pambuatan zona risiko bahaya gunungapi dapat diuraikan sbb:
Foto udara terbaru berskala 1:20.000 atau citra satelit dan peta rupabumi edisi BAKOSURTANAL dengan skala sama. Kedua jenis benda tersebut merupakan unsur penting dalam dalam pembuatan peta zona risiko bahaya gunungapi. Dengan manganalisis foto udara kemudian dibuat peta pendahuluan yang terdiri atas peta potensi bahaya, peta tutupan lahan dan peta geomorfologi. Berdasarkan peta-peta pendahuluan tersebut dilakukan pengecekan keadaan sebenarnya di lapangan. Disamping melakukan pengecekan juga menambah data sekunder yang berupa kependudukan untuk mengetahui kerapatan pemukiman di suatu tutupan lahan yang maksudnya untuk mendapatkan tingkat kepadatan penduduk. Selain data kependudukan juga diperlukan data sosial dan ekonomi sebagai data pendukung. Setelah melengkapi data tersebut kemudian dianalisis kembali dan ditambah dengan data literatur disusunlah peta zona risiko bahaya gunungapi tersebut dengan menggabungkan unsur-unsur yang ada dalam setiap peta yang telah diberi nilai bobot sesuai dengan tingkat kerentanannya terhadap potensi bahaya.
Zona Risiko Bahaya
Berdasarkan analisis beberapa elemen pendukung seperti peta potensi bahaya, peta geomorfologi dan peta tutupan lahan dengan pemberian nilai bobot terhadap semua elemen tersebut, maka diperoleh klasifikasi zona risiko bahaya G. Tangkubanparahu yang terdiri atas Zona Risiko Tinggi, Zona Risiko Sedang, Zona Risiko Rendah dan Zona Risiko Sangat Rendah.
· Zona Risiko Tinggi (High Risk Zone)
Obyek-obyek bencana terutama pemukiman yang termasuk dalam zona risiko tinggi tidak ditemukan karena sebagian besar pemukiman yang mempunyai kepadatan tinggi (>60%) tidak terancam oleh potensi bahaya tinggi seperti awan panas kuat (Apk), awan panas sedang (Aps), jatuhan piroklastik kuat (Jpk) dan lahar kuat (Lhk), tetapi terdapat pada daerah dengan potensi bahaya jatuhan piroklastik rendah hingga sedang dengan nilai risiko 80-120, kecuali di kawasan wisata di daerah kawah dan sekitarnya dimana keberadaan manusia di daerah yang berpotensi terlanda lontaran, hujan abu lebat, base surge dan freatik dalam waktu relatif lama.
· Zona Risiko Sedang (Moderate Risk Zone)
Daerah-daerah yang termasuk ke dalam risiko sedang terdiri atas unit-unit pemukiman dengan kepadatan penduduk sedang hingga tinggi (30%-60%) dan 60%. Jenis potensi bahaya yang mengancam terdiri atas lahar kuat (Lhk), lahar sedang (Lhs) hingga jatuhan piroklastik rendah (Jpr) dengan nilai risiko berkisar antara 40-60.
· Zona Risiko Rendah (Low Risk Zone)
Daerah-daerah yang termasuk ke dalam risiko rendah adalah daerah-daerah unit pemukiman yang mempunyai kerapatan penduduk rendah hingga tinggi, dengan potensi bahaya diri atas jatuhan piroklastik (Jps), lahar sedang (Lhs) hingga lahar rendah (Lhr), dan jatuhan piroklastik rendah. Bobot nilai risiko berkisar antara 30-20. Pemukiman berisiko rendah ini sebagian besar terletak pada ketinggian lebih rendah dari 900 m di atas permukaan laut.
· Zona Risiko Sangat Rendah (Very Low Risk Zone)
Daerah-daerah yang termasuk ke dalam risiko sangat rendah adalah unit pemukiman dan perkebunan/pertanian dengan kerapatan pemukiman yang berkisar dari sedang (30%-60%) hingga rendah (<30%).>
DAFTAR PUSTAKA
· Blecker, P., 1850 De Tangkoebanparahoe in October 1850
· Bronto, S., 1982 Keadaan geologi di kaki G. Tangkubanparahu
· Bacharudin, R., 19 Laporan Pendahuluan II Pengecekan data geologi hasil penafsiran landsat dan potret udara G. Tangkubanparahu dan sekitarnya, Jawa Barat. Dit. Vulkanologi
· Djoharman, L. 1986 Laporan Analisis Hasil Ungkitan Lereng (kelandaian) di G. Tangkubanparahu. Direktorat Vulkanologi
· Djoharman, L.& N. Rahardja, 1992 Laporan perubahan deformasi G. Tangkubanparahu hasil pengukuran metode ungkit.
· Djoharman, L., 1969 Laporan para pemeta kemungkinan penyebaran endpan lahar/banjir daerah sekitar Bandung-Cimahi
· Direktorat Geologi, 1974 Tangkubanparahu
· Dvorak, J., L. Pardyanto, J. Matahelumual, 1983 Scientific results of the VSI –USGS Cooperative volcanological program. January 1982 to June 1982 (open file).
· Hadisantono, R.D.& Soetoyo, 1983 Laporan Pemetaan Geologi Gunungapi Tangkubanparahu,
· Hadisantono, R.D., 1988 Some aspects of the nature and origin of the widespread pyroclastic flow deposits (ignimbrite) surrounding Tangkubanparahu volcano,
· Heriman,
· Kadiputra, K.K, 2000 Pengukuran & Interpretasi Anomali
· Kusumadinata, K., 1979 Data Dasar Gunungapi
· Kusumadinata, K., 1969 G. Tangkubanparahu. Riwayat letusan dan bahaya-bahayanya berdasarkan peta dan pustaka. Dit. Vulkanologi
· Kusumadinata, K., 1969 Peta bagan Daerah Bahaya Sementara menurut penelitian FX. Suparban
· Kusumadinata, K., 1962 Gas racun dan gas lemas di kawah-kawah Tangkuban Perahu dll
· Kadarsetia, E., R. Wahyuningsih, W, Suherman, 1977 Penyelidikan Kimia Gas G. Papandayan & G. Tangkubanparahu
· Komar,
· Maier, P.J., 19 Mineraal water voorkomde in de Kawah Domas, eene solfatara van den Tangkoeban Prahoe
· Matahelumual, J., 1977 Pengamatan Seismik G. Tangkubanparahu. Dit. Vulkanologi
· Nugraha, J., T. Sriwana, 1984 Laporan penelitian analisis kimia gas vulkanik dan kondensat G. Tangkubanparahu. Dit. Vulkanologi
· Palgunadi, S & Y. Hidayat, 2000 Laporan Penyelidikan
· Palgunadi, S & Y. Hidayat, 2000 Laporan Penyelidikan Magnet G. Tangkubanparahu, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi
· Ramli, L., W.S. Tjetjep, H. Said, S.Dwipa & R.Suparan, 1984 Studi Hubungan Potensial Diri Dengan Zona Panas/Fumarola, G. Tangkuban- parahu, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi
· Rosadi, U., Rochanan, T. Rukada, 1998 Laporan pengukuran deformasi leveling G. Tangkubanparahu, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi.
· Said, H. & D. Mulyadi, 1988 Pengukuran Deformasi G. Tangkubanparahu, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi
· SEAN Bulletin, 1985 Crater temperatures rise; Seismicity unchanged. Sean Bulletin Vol. 10, no. 11, Nov. 1985:20
· Siswowidjojo, S., 1975 Tangkubanparahu volcano
· Sobana, 1982 Laporan kegiatan pengukuran situasi lokasi-lokasi tilting G. Tangkubanparahu. Dit, Vulkanologi
· Sriwana, T., 1985 Penyelidikan Geokimia Gunungapi G. Tangkubanparahu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi
· Sulaeman, B., 1986 Laporan hasil penyelidikan G. Tangkubanparahu
· Suparban, FX., 1969 Ihtisar Penelitian Daerah Bahaya G. Tangkubanparahu
· Syarifudin, M.Z, I. Pratomo & R. Partosentiko, 1984 Petrokimia Gunungapi Sunda dan Gunungapi Tangkubanparahu. Direktorat Vulkanologi
· Tulus, 1986 Laporan pengamatan dan penyelidikan seismik G. Tangkubanparahu.
· Tulus,D.Rochendi,Sugiharto, 1999 Laporan Pengamatan G. Tangkubanparahu. Direktorat Vulkanologi
· Tulus, Pasri, N.R.,
· Wahyudin, D. dkk, 1997 Laporan inventarisasi potensi wisata G. Tangkubanparahu, Kab, Bandung & Kab. Subang, Jawa Barat.
· Wasito, 1977 Deteksi gas Radon 222 pada erupsi G. Tangkubanparahu
· Wirakusumah, A.D., 1985 Laporan pemasangan seismograf RTS di G. Tangkubanparahu. Direktorat Vulkanologi.
DOKUMENTASI PETA
Peta-peta terbit tentang G. Tangkubanparahu terdiri atas:
1. a. Peta Geologi Lembar Bandung oleh P.H Silitonga (1973)
2. b. Peta Geologi Gunungapi Tangkubanparahu oleh Soetoyo & R.D Hadisantono (1992)
3. c. Peta Geologi Kuarter Cekungan Bandung oleh P. Suparan & M.A.C Dam (1992).
Peta-peta topografi/rupabumi skala 1 : 25.000 Edisi 1 -- 1995-1998
1. a) Lembar Cikalong Wetan nomor: 1209-242 (1992), 1209 – 332
2. b) Lembar Binangun nomor : 1209 –224 1209 --311
1209- 222 1209 --332
1209 –331 1209 --314
1209 –313 1209 – 312
Penerbit Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
Peta Digital Rupabumi dan Citra SPOT- Edisi 1995/1996 – Skala 1 : 50.000
LAIN-LAIN
Sebagai akibat letusan paroksisma G. Sunda telah menghasilkan endapan aliran piroklastik yang luas dan tebal (5-50m) yang tersingkap sehingga sungai Citarum terbendung maka terbentuklah danau
Sesar Lembang yang membentang dari Timur ke Barat merupakan pemandangan alam yang menarik bagi wisatawan terutama yang berkecimpung dalam ilmu kebumian. Menurut beberapa ahli, Sesar Lembang merupakan sesar aktif dan gerak pergeserannya diamati oleh para ilmuwan.
Penjelasannya sangat detail dan lengkap. Terima kasih banyak karena sudah berbagi..
BalasHapus