16 November 2010

Raung

RAUNG, Jawa Timur

Compiler : Kristianto (kris@vsi.esdm.go.id)

Editor : Mas Atje Purbawinata, Asnawir Nasution


Keterangan Umum

Nama Gunungapi

:

G. Raung

Nama Lain

:

Rawon

Nama Kawah Utama

:

Kaldera Raung

Nama Kawah Lain di sekitar G. Papandayan

:

Tegal Alun-alun dan Tegal Brungbung

Lokasi

a. Geografi/Koordinat Puncak

b. Wilayah administratif

:

:

8° 07,5’ LS dan 114° 02,5’ BT

Wilayah Kab. Bondowoso, Kab. Jember, dan Kab. Banyuwangi, Jawa Timur

Ketinggian

:

a. 3332 dml

Kota Terdekat

:

Banyuwangi, Bondowoso

Tipe Gunungapi

:

Strato dengan kaldera

Lokasi Pos Pengamatan Gunungapi

:

Desa Sragi, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur

Pendahuluan

Cara pencapaian

Pendakian ke puncak G. Raung biasa dilakukan dari Sumberweringin yang terletak di lereng baratlaut. Daerah ini dapat ditempuh dari Bondowoso menggunakan kendaraan menuju Pesanggrahan yang berada di Desa Sumberweringin. Dari tempat ini kendaraan roda empat masih dapat dilanjutkan ke Pondok sejauh lk. 7 km.

Pendakian dari Pondok Motor melalui tegalan sepanjang lk. 0,5 km ke arah selatan - baratdaya, kemudian melalui hutan hingga ketinggian lk. 1300 m, kemiringan lereng berkisar antara 10° dan 20°. Mulai dari tempat ini hingga ketinggian lk. 1600 m, jalan setapak mulai menyempit dan ditumbuhi oleh pepohonan cemara. Setelah perjalanan dari tempat pemberangkatan selama lk. 3 jam tiba di Pondok Sumur, ketinggian lk. 1750 m. Dari Pondok Sumur pendakian mulai medan yang sulit, kemiringan lereng 20° hingga 30°, jalan setapak tertutup semak belukar. Setelah lk. 2 jam, pendakian melalui hutan cemara dan pakis-pakisan, kemudian padang rumput seluas lk. 0,25 km2 tiba di Pondok Demit.

Pendakian dilanjutkan hingga ketinggian lk. 2900 meter, selama lk. 7 jam perjalanan hingga dicapai batas hutan, dikenal dengan Pondok Mantri atau Pasaran, pada tempat ini dilakukan perkemahan.

Keesokan harinya dilanjutkan selama lk. 1 jam, melalui medan yang tidak terlalu berat dengan kemiringan lereng berkisar antara 20° dan 30°.

SEJARAH LETUSAN


Sejarah letusan yang pertama kali diketahui terjadi pada tahun 1586, berupa letusan dahsyat melanda beberapa daerah dan terdapat korban manusia, kemudian yang terakhir terjadi peningkatan kegiatan berupa letusan abu pada tahun 1973.

Sepanjang sejarah letusan G. Raung menunjukkan sifat yang ekplosif, letusan tersebut menghasilkan abu yang dilontarkan ke udara dan awan panas yang mengalir menyelimuti sebagian tubuh gunungapinya, seperti yang pernah terjadi tahun 1953 dengan tinggi asap letusan mencapai lk. 6 km di atas puncak. Penyebaran abu letusannya dihembuskan angin hingga mencapai radiusn lk. 200 km. Demikian juga letusan yang terjadi pada 13 - 19 Februari 1956, tinggi tiang asap letusan mencapai lk. 12 km. Suara dentuman letusan terdengar selama lk. 4 jam hingga jauh di Surabaya dan Malang, hujan abu yang dihembuskan angin menyebar hingga Bali dan Surabaya.

Pada tahun 1973 dilaporkan pernah terjadi peningkatan kegiatan berupa letusan abu dan menghasilkan leleran lava yang mengalir tidak jauh dari kawahnya yang berada di dasar kaldera. Tembusan fumarola terdapat pada puncak kerucut sinder dan di bagian tubuh aliran lava.

Tabel sejarah letusan G. Raung, Jawa Timur

Tahun letusan

Keterangan

1586

Terjadi letusan dahsyat dan diketahui adanya korban manusia (Verbeek dan Fennema, 1896)

1597

Letusan yang serupa dalam letusan 1586 dan dicatat adanya korban manusia

1638

Terjadi letusan dahsyat, kemudian diikuti dengan banjir besar dan aliran lahar yang melanda daerah antara K. Stail dan K. Klatak.

Korban manusia mencapai ribuan orang. Saat itu berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah Pangeran Tawangulun (Brouwer, 1913, p. 60-65)

1730

Letusan abu yang dibarengi dengan lahar yang melanda wilayah yang cukup luas dan dilaporkan banyak korban manusia

1787 - 1799

Letusan terjadi pada waktu pemerintah Residen Harris, tidak diketahui adanya keterangan lebih lanjut.

1800 - 1808

Letusan terjadi pada waktu pemerintahan Residen Malleod, tidak diketahui adanya keterangan lebih lanjut.

1812 - 1814

Letusan disertai suara gemuruh dan hujan abu.

1815

Terjadi hujan abu di Besuki dan Probolinggo antara tanggal 4 - 12 April. Neumann van Padang (1951) menyangsikan terjadinya letusan tersebut, diduga hujan abu ini berasal dari letusan G. Tambora di Sumbawa.

1817

Tanah rusak dan korban manusia

1838

Tanah rusak

1859

Tanggal 14 Desember 1941, tidak ada keterangan lebih lanjut

1860

Letusan yang terjadi pada tahun ini tidak diketahui dengan pasti, diduga terjadi pada bulan September (?)

1864

terdengar suara gemuruh dan di siang hari gelap, yang terjadi mulai tanggal 6 Juli, diduga mungkin disebabkan oleh hujan abu

1881

Gumpalan asap disertai suara gemuruh, terjadi hujan abu tipis di sekitar Banyuwangi (Ottolander, 1881)

1885

Diduga terjadi letusan dalam bulan Juni, tidak ada keterangan lebih lanjut

1890

Terjadi letusan sejak Juli, Agustus sampai pertengahan September. Letusan paroksimal terjadi pada tanggal 13 September

1896

Terjadi gempa di Kayumas (Besuki), suara gemuruh yang diikuti dengan hujan abu, Agustus

1902

Munculnya kerucut pusat pada 16 Februari

1903 - 1904

Terdengar suara gemuruh dan bara api di bagian puncak pada tanggal 28 November - 2 Desember

1913

Tampak adanya gumpalan asap pada 10 Mei sampai Desember

1915

Terdengar suara gemuruh dan diikuti dengan gumpalan asap

1916

Terdengar suara gemuruh dan diikuti dengan gumpalan asap (November, Desember)

1917

Terdengar suara gemuruh dan diikuti gumpalan asap

1921

Adanya aliran leleran lava di dalam kaldera bulan Februari - April

1924

Pelemparan eflata di sekitar kaldera dan leleran lava, sebelum Februari

1927

Letusan asap cendawan dan diiringi oleh hujan abu sampai sejauh 30 km. Terdengar dentuman bom yang dilontarkan sejauh 500 m, 2 Agustus sampai Oktober

1928

Tampak adanya celah merah di dasar kaldera yang mengeluarkan lava, Maret dan November

1929

Di antara bulan Maret dan Juni, sama dengan yang pernah terjadi dalam tahun 1928

1933

21 November - 6 Desember

1936

22 - 31 Agustus, 18 September, November - 11 Desember

1937

27 - 31 Oktober dan 21 - 27 November

1938

13 Agustus - September dan 14 November - 28 Desember

1939

10 Januari

1940

diragukan

1941

13 Desember

1943

18 Januari

1944

30 Januari - 30 November. Kemungkinan aliran lava dalam kaldera

1945

20 Januari dan 19 April

1953

Terjadi letusan asap tanggal 31 Januari. Asap membara dengan guguran hingga 18 Maret. Tinggi awan letusan mencapai lk. 6 km di atas puncak dan sebaran abu mencapai radius lk. 200 km

1956

Terjadi kegiatan letusan antara 13 - 19 Februari dan letusan paroksimal terjadi pada tanggal 19 Februari. Tinggi tiang asap letusan diduga lk. 12 km. Suara dentuman terdengar selama lk. 4 jam dari Surabaya dan Malang. Hujan abu menyebar dan turun hingga Bali dan Surabaya

1961

Kenaikan kegiatan pada tanggal 26 April

1973

Dikabarkan kegiatan meningkat sejak akhir 1972. Hadian (1973) mengunjungi puncak, tetapi keadaan sudah normal kembali. Hampir seluruh permukaan dasar kawah tertutup oleh aliran lava yang keluar dari kerucut yang terletak di tengah dasar kawah. Seluruh permukaan kerucut sinder tertutup oleh belerang, demikian pula halnya di bagian utara dasar kawah. Rekahan berbentuk busur menghadap ke tengah terdapat pada bagian timurlaut. Tembusan fumarola terdapat pada puncak kerucut sinder, pada rekahan tersebut di atas, juga di bagian tubuh lava sebelah barat

Karakter Letusan

Pusat kegiatan letusan G. Raung saat sekarang berada pada dasar kaldera yang melingkar berbentuk ellips dengan garis tengah lk. 1750 x 2250 m, dinding kaldera sangat terjal, kedalaman dasarnya diduga lk. 400 - 500 m di bawah pematang kaldera. Bulan Februari 1902, pada dasar kaldera muncul kerucut pusat setinggi lk. 90 m.

Letusan dan peningkatan kegiatan vulkanik yang terjadi dalam sejarah tercatat sejak abad ke-16, yaitu sejak tahun 1586 sampai abad ke-20, yaitu peningkatan kegiatan terakhir tahun 1973, berdasarkan tahun letusan telah terjadi 43 kali letusan dan peningakatan kegiatan. Letusan yang cukup hebat yang menimbulkan kerusakan dan korban manusia terjadi pada tahun 1586, 1597, 1638, 1730, 1817, dan 1838. Sepanjang sejarah bahwa letusan G. Raung bersifat ekplosif, menghasilkan abu yang dilontarkan ke udara dan pernah terjadi awan panas yang meluncur menyelimuti sebagian tubuh gunungapinya, seperti yang pernah terjadi tahun 1953 dengan tinggi asap letusan mencapai lk. 6 km di atas puncak. Penyebaran abu letusan tertiup angin sampai sejauh lk. 200 km. Letusan yang terjadi pada 13 - 19 Februari 1956, tinggi tiang asap letusan mencapai lk. 12 km dari puncak. Suara dentuman terdengar selama lk. 4 jam, terdengar hingga jauh di Surabaya. Pada tahun 1973 pernah terjadi peningkatan kegiatan berupa letusan abu dan menghasilkan leleran lava yang mengalir tidak jauh dari kawahnya di dasar kaldera.

Tembusan fumarola mengepul pada puncak kerucut sinder dan di bagian tubuh aliran lava. Bahaya utama letusan G. Raung atau bahaya primer adalah bahaya akibat langsung dari letusan seperti luncuran awan panas dan lontaran piroklastik. Sedangkan bahaya sekunder atau bahaya tidak langsung dari letusan gunungapi adalah lahar hujan yang terjadi setelah letusan apabila turun hujan lebat di sekitar puncak G. Raung.

Jauhnya sebaran jatuhan piroklastik tergantung pada ketinggian lontaran dan pada kencangnya angin yang meniup pada waktu letusan, terutama penyebaran hujan abu dan pasir. Pada letusan memuncak, bom vulkanik (lontaran batu pijar) bisa terlemparkan sampai sejauh lk. 3 - 5 km dari lubang letusan. Hujan abu dan pasir yang tebal dapat menyebabkan atap rumah ambruk, terutama dalam musim hujan dan kerusakan tanaman. Hujan abu juga berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Awan letusan yang bermuatan abu tersebut sangat membahayakan penerbangan.

Perioda Letusan

Berdasarkan sejarah letusannya periode letusan terpendek antara 2 letusan lk. 1 tahun dan terpanjang lk. 90 tahun. Untuk periode istirahat lk. 1 tahun mungkin masih satu fase letusan atau kegiatan lanjutan.


Daftar Acuan

· Hamidi S., Sunarman, Laporan Pengumpulan Data dan Informasi G. Raung, Arsip Direktorat Vulkanologi, Bandung, 1999

GEOLOGI


Berdasarkan data geologi bahwa pusat letusan G. Raung pada pra sejarah berpindah-pindah, masing-masing berurutan dari G. Wates, G. Pajuaran, G. Pajungan dan G. Raung. Pada saat kegiatan G. Pajungan pernah terjadi suatu letusan dahsyat disertai dengan longsoran besar (Debris Avalanche) melanda di bagian lereng barat G. Raung, yaitu berasal dari G. Panjungan (Sutawidjaja dkk., 1987).

Material longsoran tersebut menyebar ke arah barat meliputi daerah Maesan dan Mayang, bukit-bukit tersebut dibentuk oleh endapan awan panas membentuk strato di sekitar tubuh atau bagian puncak gunungapinya yang pernah terbentuk sebelumnya.

Pusat kegiatan G. Raung saat sekarang berada pada dasar kaldera yang melingkar dengan garis tengah lk. 2,5 km, lereng kaldera sangat terjal, kedalaman dasar diduga lk. 400 m. Pada dinding kaldera tampak stratifikasi endapan hasil letusan sepanjang sejarah gunungapinya, terdiri dari endapan piroklastika dan diselingi aliran lava.

Menurut Neuman van Padang (1951), Kawah G. Raung agak rumit akibat perpindahan titik letusan, kerucut pusat yang aktif sampai sekarang muncul pada tahun 1902 setinggi lk. 90 m di dalam kawah besar (kaldera). Puncak G. Raung merupakan kerucut terpotong dengan tonjolan dari sisa-sisa endapan lava dan barangko-barangko dari sisa endapan piroklastik. Kaldera G. Raung berbentuk ellips, berukuran lk. 1750 x 2250 m, dalamnya lk. 400 - 550 m di bawah pematang, lereng kaldera sangat terjal. Pada dinding kaldera tampak stratifikasi endapan hasil letusan sepanjang sejarah gunungapinya, terdiri dari endapan piroklastika diselingi aliran lava. Puncak tertinggi G. Raung berketinggian 3332 m mdl.

Sektor barat G. Raung runtuh dan mengakibatkan munculnya sekelompok bukit (hillocks) di kaki barat sebagai sisa dari suatu longsoran puing raksasa dari kerucut gunungapi bagian barat. Gumuk-gumuk atau bukit-bukit kecil di sebelah barat G. Raung ini merupakan sisa erosi dari suatu longsoran yang maha dahsyat, juga gumuk-gumuk piroklastik di dataran Jember kemungkinan besar karena terjadinya banjir masa batuan (banjir lahar). Apakah longsoran raksasa itu bersamaan dengan suatu letusan eksplosif maha dahsyat yang terarah, perlu penelitian atau pemetaan geologi yang seksama. Di G. Galunggung perbukitan kecil ini (hillocks) disebut bukit sepuluhribu (Ten Thousand Hills), berasal dari suatu letusan eksplosif mengiringi robohnya kerucut gunungapi bagian tenggara secara katastrofis yang menimbulkan longsoran puing diperkirakan terjadi 4000 - 6000 tahun yang lalu. Menurut Sutawijaya (1987), pada saat kegiatan G. Pajungan pernah terjadi suatu letusan dahsyat disertai dengan longsoran besar (debris avalanches) melanda di sebagian lereng barat G. Raung. Material longsoran tersebut menyebar ke arah barat meliputi daerah Maesan dan Mayang berbentuk bukit-bukit kecil (hillocks).

G. Raung dikelilingi oleh kelompok tonjolan diantaranya : di sebelah utara G. Suket ( 2750 m), di timurlaut G. Lempeh ( 2932 m), di timur G. Jampit ( 2338 m), di selatan G. Wates ( 2796 m), di barat G. Gadung ( 2390 m), dan G. Pajungan ( 2352 m).

Pola aliran sungai-sungai di G. Raung adalah radial, sedangkan di daerah kakinya pola alirannya adalah dendritik, dimana sungai-sungai utamanya di daerah dataran mengalir bermeander. Secara garis besar sungai-sungai di G. Raung dapat dibagi menjadi sungai-sungai yang berhulu di sekitar puncak dan sungai-sungai yang berhulu di sekitar lereng.

Sungai-sungai yang berhulu di sekitar puncak diantaranya : Kali stail dan Kali Mangarang mengalir ke arah selatan meneggara melalui Kecamatan Genteng, yang rawan akan aliran lahar jika setelah letusan G. Raung terjadi hujan. Kali Mayang, arah alirannya ke baratdaya melalui daerah Mayang. Kali Pace, arah alirannya ke timurlaut melalui daerah Bondowoso.

Sungai-sungai yang berhulu di sekitar lereng diantarany : K. Kajar, K. Gladagkundung, K. Telepon, K. Kohor, K. Basiran, dan K. Caken. Sungai-sungai tersebut mengalir antara Kalibaru dan Glenmore. Sungai-sungai antara Glenmore dan Rogojampi, terdiri dari K. Sempit, K. Porolinggo, K. Wadung, K. Jalen, K. Togung, K. Susulan, K. Bandeng, dan K. Binan. K. Satel di Gempol, mengalir ke utara lewat dinding timur G. Suket melalui lembah Gempol dan kampung Belawan, masuk K. Banyuputih.

Dataran tinggi Ijen di bagian selatan dibatasi oleh barisan gunungapi yang berarah timur timurlaut - barat baratdaya (Merapi, Rante, Pendil, dan Raung). Beberapa kerucut yang mengelilingi G. Raung seperti G. Suket, G. Lempe, G. Gadung, G. Pajungan, dan G. Wates adalah gunungapi yang sebagian mungkin lebih tua dari G. Raung dan sebagian adalah gunungapi parasit. Menurut Taverne 1926, (dalam Djoharman, 1970) G. Suket dan G. Dampit berumur lebih tua dari G. Raung.

Menurut Safei, Suganda, dan Astradirja (1979), urutan stratigrafi daerah G. Raung dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

1. Satuan Tuf Jember

Breksi dan tuf kasar merupakan batuan proklastik G. Raung paling bawah posisi stratigrafinya. Terkadang tuf yang berbutir kasar selang-seling dengan tuf abu dan tuf batu apung merupakan sisipan sisian tipis di dalamnya.

2. Satuan gumuk volkanik Sukowono

Gumuk volkanik tersebar antara kaki G. Raung dan G. Iyang. Diduga bahwa gumuk sekitar Jember berasal dari aktifitas vulkanisme G. Raung, merupakan sisa erosi dari endapan volkanik G. Raung.

3. Satuan breksi Raung

Hampir dua pertiga lember Jember bagian barat dan utara ditutupi endapan volkanik dari G. Raung dan G. Argopuro. Lava, breksi dan tuf merupakan bagian utama.

4. Satuan lava Raung

Singkapan di kawasan Kalibaru, morfologinya dicerminkan oleh punggungan yang terdiri dari lava andesit scoria. Satuan ini tertutup lapisan tipis abu gunungapi yang paling muda yang masih lepas sifatnya.


Daftar Acuan :

Hamidi S., Sunarman, Laporan Pengumpulan Data dan Informasi G. Raung, Arsip Direktorat Vulkanologi, Bandung, 1999

GEOFISIKA


Gaya Berat

Penyelidikan gaya berat dilakukan pada tahun 1993. Sebagai titik tetap pengukuran ditentukan 10 titik lokasi, titik GT-1 sebagai base station terletak di Mess PEMDA, Desa Sumber Wringin, Kabupaten Bondowoso, GT-2 hingga GT-10 diletakan pada jarak-jarak tertentu ke arah puncak G. Raung.

Prinsip dasar pengukuran gaya berat adalah “looping” dalam satu hari. Station akhir dipakai sebagai titik bantu untuk pengukuran selanjutnya menuju puncak, hal ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan medan gunungapi. Dengan pengukuran tertutup dalam satu hari, maka drift dari alat tersebut dapat diketahui. Harga rata-rata merupakan koreksi terhadap harga relatif dari titik-titik tetap GT-1 - GT-10.

Pada station GT-8 terdapat dua harga masing-masing -151.2418 dan -151.4562 dengan harga rata-rata adalah -151.3490. Dengan kesalahan penyimpangan harga rata-ratanya adalah 0,071 %, tetapi selisih lebih besar 0,1 mgal perlu dilakukan rechecking. Hal yang sama terjadi di station GT-9A, terdapat kesalahan sebesar 0,015 %.

Tabel harga G relatif terhadap GT-1

Station

Tinggi (meter)

del G GT-1

GT-1

710

0.0000

GT-2

735

-7.5178

GT-3

800

-21.1896

GT-4

875

-36.3867

GT-5

940

-50.8628

GT-6

1030

-68.7573

GT-7

1150

-86.4413

GT-8

1500

-151.3490

GT-9

1775

-204.9067

GT-9A

2550

-395.8760

GT-10

2840

-468.2425

Seismik

Selama periode pengamatan Oktober - Nopember 1984, gempa yang tercatat oleh seismograf pada pos pengamatan temporer “Mangaran” didominasi oleh gempa-gempa tektonik umumnya mempunyai (S-P) > 12 detik. Sedang gempa-gempa dengan nilai (S-P) <>

Geomagnit

Peralatan yang digunakan dalam penyelidikan geomagnet, yaitu sebuah proton magnetometer dari type 595 ELSEC dengan ketelitian 0,5 gamma. Cara pengukuran yang dilakukan adalah bolak-balik (checking back) dalam waktu yang pendek (2 jam) dan dengan melihat koreksi harian yang dilakukan hari sebelumnya. Dengan asumsi bahwa trend variasi selama penyelidikan relatif sama. Alternatif tersebut adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan harga baku dari setiap titik ukur GT-1 sampai GT-10, yang akan digunakan sebagai acuan dalam penyelidikan berikutnya.

Dari variasi harian magnet G. Ruang tanggal 19 September 1993, harga harian maksimum intensitas magnit total tercatat 45444 gamma dan minimumnya 45414 gamma, daily mean value yang diperoleh sebagai koreksi adalah 45429 gamma. Posisi harga intensitas magnit total G. Raung di antara 45000 - 46000 gamma.

Harga setiap titik GT-1 - GT-10 dapat dilihat pada tabel. Harga akhir dari tabel tersebut adalah harga baku dari masing-masing station.

Data Magnit Lintasan A - B G. Raung

Titik

Waktu

Harga

Koreksi

Harga Akhir

GT-1

07:37

45439

- 10

45429

GT-2

07:55

45294

- 12

45282

GT-3

08:14

45444

- 13

45431

GT-4

08:34

45578

- 12.5

45565.5

GT-5

08:50

45566

- 14

45552

GT-6

09:06

45788

- 14

45774

GT-7

09:25

46172

- 14

46158

GT-8

10:32

46217

- 7

46210

GT-9

15:03

46589

+ 13

46602

GT-10

10:44

46800

- 11

46789

Deformasi

Penyelidikan menggunakan jaringan GPS terdiri dari 4 satelit x 6 orbit = 24 satelit, stasiun pengontrol dan penerima GPS sony IPS-360. Ketinggian orbit dari satelit lk. 20.000 km. Bentuk orbitnya adalah berbentuk elipsoida dengan perioda orbit lk. 12 jam.

Format signal sesuai dengan coda c/a, yakni :

Frekuensi : 1575,52 MHz

Clock : 1,023 Mbps

Daya signal : -160 dBw

Uji coba alat ini dilakukan pada beberapa titik pengukuran yang telah ditetapkan yakni GT-1, GT-2, GT-3, GT-4, GT-5, GT-6, dan GT-7. Pada tiap titik dilakukan dua kali pengukuran dengan selang pengukuran lk. 30 menit, yang diukur hanya bujur dan lintang.

Hasil pengukuran adalah sebagai berikut :

Pengukuran I

Pengukuran II

Titik GT-1 (base camp)

S : 7° 58’ 50,55”

E : 113° 59’ 36,9”

S : 7° 58’ 51,5”

E : 113° 59’ 35,6”

Titik GT-2

S : 7° 59’ 13,2”

E : 113° 59’ 50,8”

S : 7° 59’ 14,1”

E : 113° 59’ 51,2”

Titik GT-3

S : 7° 59’ 50,2”

E : 114° 00’ 01,8”

S : 7° 59’ 49,6”

E : 114° 00’ 01,2”

Titik GT-4

S : 8° 00’ 25,8”

E : 114° 00’ 19,1”

S : 8° 00’ 25,1”

E : 114° 00’ 19,6”

Titik GT-5

S : 8° 01’ 05,8”

E : 114° 00’ 28,7”

S : 8° 01’ 06,0”

E : 114° 00’ 28,6”

Titik GT-6

S : 8° 01’ 34,2”

E : 114° 00’ 36,7”

S : 8° 01’ 34,3”

E : 114° 00’ 36,4”

Titik GT-7

S : 8° 01’ 59,4”

E : 114° 00’ 59,0”

S : 8° 01’ 58,2”

E : 114° 00’ 59,8”

Potensial Diri

Pengukuran SP adalah mengukur beda potensial listrik secara alamiah antara dua titk ukur dengan menggunakan alat ukur Multimeter digital dengan impedansi input yang besar agar arus yang kecil masih dapat mengukur beda potensial.

Elektroda yang digunakan dalam pengukuran potensial diri (SP) bersifat tak terpolarisasi, terbuat dari logam yang terendam larutan jenuh CuSO4, ditempatkan dalam pvc yang bagian bawahnya ditutup kayu bersifat porous agar cairan dapat merembes perlahan dan berhubungan dengan tanah. Jarak antara dua elektroda dibuat tetap 100 meter, ditancapkan ke dalam tanah sedalam 15 cm, sehingga betul-betul kontak dengan tanah dan pembacaan ditunggu sampai didapat nilai beda potensial yang stabil.

Pengukuran potensial diri G. Raung dilakukan secara radial mulai dari kaki menuju puncak gunung, pengukuran dibagi menjadi 10 GT dan 184 nomor station (pengukuran), yaitu :

- GT-1 ------------------> BS (Base Station)

- GT-2 ------------------> No Station 8

- GT-3 ------------------> No Station 21

- GT-4 ------------------> No Station 36

- GT-5 ------------------> No Station 48

- GT-6 ------------------> No Station 61

- GT-7 ------------------> No Station 77

- GT-8 ------------------> No Station 110

- GT-9 ------------------> No Station 143

- GT-10 ------------------> No Station 184

Harga-harga potensial dikoreksi dengan harga variasi harian di base station, untuk menghindari adanya arus telurik (telluric current).


Daftar Acuan

· Yohana, T., dkk, Penyelidikan Geofisika Terpadu G. Raung Agustus 1993, Direktorat Vulkanologi, 1993

· Rasjid, S.A., Sumaryono, Pengamatan seismik G. Raung, Mangaran, Banyuwangi, Oktober - Nopember 1984, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1984

· Erfan, R.D., Pengawasan/Pengamatan G. Raung, Juli 1989, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1989

· Wahyudin, D., Pengawasan/Pengamatan kegiatan vulkanik G. Raung dan Kw. Ijen, Jawa Timur, Mei 1995, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1995

· Djumarma, A., Pengamatan & penyelidikan seismik G. Raung, 1985 - 1986, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1986

· Yohana, T., dkk, Penyelidikan Geofisika Terpadu G. Raung Agustus 1993, Direktorat Vulkanologi, 1993

· Doko, I.N., dkk., Pengukuran dan ujicoba GPS di G. Raung, September 1993, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1993

· Yohana, T., dkk, Penyelidikan Geofisika Terpadu G. Raung Agustus 1993, Direktorat Vulkanologi, 1993

GEOKIMIA


Jenis Batuan

Batuan G. Raung terdiri dari basalt dan andesit

Analisa Kimia 1971

Batuan beku G. Raung

SiO2

FeO

Fe2O3

Al2O3

FeO2

MnO

P2O5

CaO

MgO

Na2O

K2O

S total

H2O - 110oL

Hilang dibakar

50,06 %

5,45

6,21

17,61

1,44

0,15

0,16

8,04

5,06

2,41

1,39

0,68

0,60

1,25

Analisa Kimia 1959

Pasir

Nopember 1955

Pasir

Februari 1956

S2O2

Fe2O3

FeO

Al2O3

FeO2

S

CaO

MgO

MnO

K2O

Na2O

CO2

H2O

H2O+

SO3

P2O5

51,1

4,1

5,7

21,7

1,3

-

9,2

2,2

0,1

1,6

2,9

-

0,2

0,1

tidak ada

0,4

51,04

8,82

1,93

20,91

1,19

0,08

9,25

3,30

0,16

1,57

2,67

tidak ada

0,36

tidak ada

-

-

50,92

7,78

2,30

19,95

1,43

0,05

8,40

3,29

0,17

1,79

2,84

tidak ada

0,16

tidak ada

-

-


Daftar Acuan

Kusumadinata, K., Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi, 1979

MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI


Untuk menghadapi bahaya letusan G. Raung seperti yang pernah terjadi di waktu sejarah, maka Peta Daerah Bahaya G. Raung yang ada sekarang ini terdiri dari dua zona, yaitu Daerah Bahaya (Kawasan Rawan Bencana II) dan Daerah Waspada (Kawasan Rawan Bencana I).

Daerah (KRBII) adalah daerah yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya sehingga kemungkinan akan terlanda oleh bahaya langsung berupa luncuran awan panas dan lontaran piroklastik. Untuk kemungkinan bahaya terhadap lemparan bom vulkanik (lontaran batu pijar) dan eflata lainnya diperkirakan meliputi wilayah dalam radius lk. 6 km berpusat tengah-tengah kaldera. Untuk kemungkinan bahaya awan panas dan lahar, daerah bahaya ini diperluas ke sektor tenggara, barat-baratdaya dan baratlaut sampai sejauh lk. 15 km sesuai dengan keadaan morfologinya, sedangkan ke sektor utara, timur, selatan-baratdaya, barat-baratlaut sampai sejauh lk. 7 km. Di dalam kawasan daerah bahaya ini (KRB II) hampir tidak berpenduduk (tidak ada kampung), sebagian besar berupa hutan.

Daerah Waspada (KRB I) adalah daerah yang letaknya lebih jauh dari sumber bahaya. Daerah ini mungkin akan terkena jatuhan hujan abu, pasir dan lapilli. Untuk kemungkinan bahaya terhadap jatuhan piroklastik diperkirakan meliputi wilayah antara radius lk. 6 dan 10 km dari tengah-tengah kaldera. Bila terjadi letusan, penduduk yang bermukim di daerah ini harus waspada, tergantung pada perkembangan letusan, bila letusannya lebih kuat maka penduduk di daerah waspada ini harus mengungsi. Daerah waspada ini terutama hanya berdasarkan kemungkinan terkena jatuhan lontaran piroklastik. Untuk kemungkinan bahaya lahar hanya meliputi lembah-lembah atau daerah aliran sepanjang sungai-sungai yang berhulu dari daerah puncak.

Sistem Pemantauan

Kegiatan vulkanik G. Raung dipantau dari Pos PGA yang terletak di bagian tenggara G. Raung, yaitu di Dusun Mangaran, Desa Sraji, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, pada ketinggian lk. 650 meter dpl. Pemantauan yang dilakukan berupa pengamatan visual dan kegempaan.

Dalam keadaan aktif normal teramati hembusan asap kawah berwarna putih tipis dengan tekanan lemah tinggi lk. 50 - 100 meter di atas puncak (Mei 1995). Kegiatan lain yang diamati berupa solfatara dan fumarola yang terletak pada bukit dan bibir kawah sinder cone bagian barat dan di dasar kawah bagian barat. Sinder cone ini terletak agak di tengah kawah G. Raung, berbentuk agak melingkar dan tengahnya terdapat lubang bekas letusan freatik berdiameter lk. 100 meter dengan kedalaman lk. 35 meter.

Pengamatan seismik menggunakan 1 set seismograf dengan sistem pancar (RTS) model MEQ-800. Seismometer ditempatkan di G. Melalu, sebelah barat laut Pos Pengamatan pada ketinggian lk. 1150 meter. Seismograf MEQ-800 ini memerlukan 6 buah batere 12 volt, yaitu 2 batere di lapangan (trasmitter) dan 4 batere di Pos Pengamatan (receiver). Namun setelah menggunakan 2 buah converter, maka batere yang diperlukan hanya 4 buah, yaitu 1 batere di lapangan dan 3 batere untuk recorder. Pemantauan aktifitas kegempaan dengan menggunakan seismograf MEQ-800 dilakukan sejak tahun 1995 hingga pertengahan 1996, sedangkan pemakaian seismograf jenis Kinemetrics PS-2 satu komponen menggantikan seismograf MEQ-800 sejak pertengahan 1996 hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA


· Djumarma, A., Pengamatan & penyelidikan seismik G. Raung, 1985 - 1986, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1986

· Doko, I.N., dkk., Pengukuran dan ujicoba GPS di G. Raung, September 1993, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1993

· Erfan, R.D., Pengawasan/Pengamatan G. Raung, Juli 1989, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1989

· Hamidi S., Sunarman, Laporan Pengumpulan Data dan Informasi G. Raung, Arsip Direktorat Vulkanologi, Bandung, 1999

· Kusumadinata, K., Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi, 1979

· Rasjid, S.A., Sumaryono, Pengamatan seismik G. Raung, Mangaran, Banyuwangi, Oktober - Nopember 1984, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1984

· Setiawan T., dkk., Laporan Dokumentasi G. Raung dan sekitarnya Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi Juli 1999, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1999

· Wahyudin, D., Pengawasan/Pengamatan kegiatan vulkanik G. Raung dan Kw. Ijen, Jawa Timur, Mei 1995, Arsip Direktorat Vulkanologi, 1995

· Yohana, T., dkk, Penyelidikan Geofisika Terpadu G. Raung Agustus 1993, Direktorat Vulkanologi, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar