24 Oktober 2013

"KRAKATAU, 1883"

Referensi: Yasa Suparman, dkk. 2013. "Krakatau 1883; Pembelajaran di balik Letusan Katastropik". Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Badan Geologi, Bandung
LETUSAN KRAKATAU 1883
Krakatau merupakan kepulauan vulkanik yang berada di tengah-tengah Selat Sunda. Pada tahun 1883, Selat Sunda merupakan jalur lalu lintas laut strategis yang dapat dilalui kapal besar dan bersandar di Pelabuhan Anyer. Selat Sunda juga merupakan pintu masuk ke pelabuhan-pelabuhan lainnya. Karena posisinya sebagai jalur lalu lintas laut yang strategis maka terdapat banyak saksi dan laporan mengenai apa yang terjadi di Selat Sunda pada tahun 1883.
Krakatau pada awalnya dianggap sebagai "sebuah pulau", karena tidak ada sesuatu yang istimewa yang terjadi di pulau tersebut. Nama "Krakatau" diambil dari bahasa Sanskerta "Karkata" yang berarti kepiting (Verbeek, 1884). Kompleks vulkanik Krakatau terdiri dari empat pulau yaitu Krakatau, Cupu (Polish Hat), Pulau Sertung (Varlaten Eiland) dan Pulau Panjang (Lang Eiland). Krakatau, sebagai pulau yang paling besar, mempunyai tiga deret gunungapi dari utara ke selatan yaitu Perbuwatan, Danan dan Rakata. Pulau Krakatau mempunyai panjang 9 km dan lebar lebih dari 5 km, dengan luas area sekitar 33 km² (De Neve, 1981). Bagian paling utara yaitu Kawah Perbuwatan dengan tinggi 118 meter, tidak keterangan posisi geografisnya (Verbeek, 1885). Ketinggian Gunung Danan sekitar 443 meter pada posisi 105°26' BT - 6°7' LS, sedangkan kerucut Rakata mempunyai ketinggian 822 meter dengan posisi geografis 105°26'36" BT-6°8'50" LS.
Gempa Terasa pada 9 - 10 Mei 1883 tercatat di Mercusuar Tanjung Layar, Pantai Jawa Barat, dan getaran tremor tejadi berulang pada 17 Mei 1883. Gempa Terasa pada 15 - 20 Mei 1883 juga dirasakan di Ketimbang, bagian timur Pantai Lampung (De Neve, 1981). Pada Minggu pagi, 20 Mei 1883, Krakatau meletus, suara ledakan terdengar selama beberapa jam hingga Jakarta, Bogor dan Purwakarta di Jawa Barat, yang berjarak 160 - 230 km, serta di Bandar, Muaradua dan Palembang di Sumatera Selatan, yang berjarak 320 - 350 km. De Neve (1981) menyebutkan bahwa saksi mata dari letusan 20 Mei tersebut adalah seorang pemancing yang bernama Abdul Wahab, yang sedang menambatkan perahunya pada pagi sekitar pukul 06.00 - 10.00 WIB di sekitar G. Krakatau, dan melihat bahwa letusan berawal dari bagian utara G. Krakatau yaitu Perbuwatan. Kapal laut pertama yang berlabuh di Pelabuhan Anyer pada pagi itu adalah U.S A.R. Thomas, dimana bagian dek kapalnya tertutupi oleh abu vulkanik setebal hampir 4 cm. Enam kapal lautnya memberikan kesaksian terhadap kejadian di Selat Sunda pada 20 - 22 Mei 1883. Keterangan lainnya berasal dari buku catatan informasi dari kapal perang/ korvet Jerman yaitu "Elizabeth" yang tiba di Anyer pada pukul 09.00, setelah melakukan perjalanan selama 4 jam dari Hongkong. Disebutkan bahwa "Elizabeth" telah melihat kolom letusan yang sangat besar mencapai ketinggian 11 km di atas G. Krakatau. Pada tanggal 22 Mei teramati massa, seperti fragmen batu apung dalam jumlah yang sangat besar, terlempar dari Kawah Perbuwatan. Pada tanggal 23 Mei, terlihat banyak batu apung mengambang di laut sekitar G. Krakatau.
Pada tanggal 26 Mei 1883 kegiatan G. Krakatau menurun. Kondisi ini mendorong dilakukannya pelayaran dari Batavia (Jakarta) menuju G. Krakatau untuk melihat kondisi gunungapi tersebut dari jarak yang lebih dekat. Kapal "Gouverneur General Loudon", yang dipimpin oleh Schururman, berlayar dari Jakarta dan tiba di sekitar G. Krakatau pada pagi hari tanggal 27 Mei 1883. Letusan yang kuat berasal dari Kawah Perbuwatan terjadi kembali dan menyebabkan kondisi sekitarnya tertutup lapisan tebal abu vulkanik, batuapung dan debu. Kawah Perbuwatan berdiameter sekitar 1000 meter dengan kedalaman 40 meter dan ketinggian 100 meter di atas permukaan laut. Bentuk kawah menyerupai tapal kuda dengan bukaan ke arah utara. Pada dasar Kawah Perbuwatan teramati lubang terbuka yang mengeluarkan kolom asap dengan ketinggani sekitar 1200 meter. Di Pulau Panjang dan Cupu masih teramati vegetasi, tetapi Pulau Sertung dan Krakatau seluruhnya tertutup oleh abu vulkanik dan tidak teramati vegetasi. Aktivitas Krakatau terlihat menurun hingga pertengahan Juni dan menunjukkan bahwa periode letusannya akan berakhir.
Pada tanggal 19 Juni terjadi letusan yang tidak hanya berasal dari Kawah Perbuwatan, tetapi juga dari Danan serta bagian tengah Pulau Krakatau. Letusan ini mengakibatkan hilangnya sebagian G. Perbuwatan. Sekitar tanggal 9 - 12 Juli dilaporkan masih terdapat aktivitas dari G. Perbuwatan dan G. Danan serta aktivitas baru pada bagian selatan G. Krakatau. Ferzenaar (1888) menyebutkan bahwa dari hasil tinjauannya ke Krakatau pada 11 Agustus 1883, teramati tiga rekahan di Kawah Perbuwatan; Danan dan bagian selatan lereng Danan. Selain itu ditemukan empat kawah dan beberapa lokasi fumarol di bagian tengah Krakatau.
Peta Sketsa Krakatau yang dibuat H. J. G. Ferzenaar pada 11 Agustus 1883. 'A' merupakan Puncak Rakata, 'B', 'D' dan 'E' merupakan kawah. Warna merah mengindikasikan rekahan aktif. Rakatakecil adalah nama lain dari Pulau Panjang (dimodifikasi dari Simkin & Fiske, 1983).
Catatan aktivitas G. Krakatau pada akhir Agustus 1883 diperoleh dari catatan kapal laut yang berlayar melintas Selat Sunda pada minggu akhir bulan Agustus (De Neve, 1981). Catatan pertama bersumber dari kapal "Medea" yang berlayar di Selat Sunda pada tanggal 22 - 26 Agustus, yang menyebutkan bahwa letusan pertama terjadi pada 26 Agustus pukul 14.00 dan letusan-letusan susulan terjadi tiap 10 menit. Pada pukul 17.00 terjadi letusan besar dengan kolom asap mencapai ketinggian 27 km dan di susul oleh letusan dengan ketinggian sekitar 33.5 km. Kota Anyer dan Selat Sunda berubah gelap akibat abu letusan. Letusan yang terjadi pada pukul 14.00 terdengar hingga jarak 160 - 240 km, sedangkan letusan pada pukul 17.00 terdengar hingga di ujung timur Pulau Jawa, sekitar 1120 km dari sumbernya (De Neve, 1981). Fragmen batuapung berukuran besar, jatuh hingga jarak 16 - 20 km dari G. Krakatau dan letusan terus berlangsung sepanjang malam. Laporan yang sama disebutkan juga pada catatan kapal perang Inggris "Charles Bal" dan kapal "Gouverneur Generaal Loudon" yang berlayar di Selat Sunda pada tanggal 26 Agustus 1883.
Pada tanggal 27 Agustus 1883, letusan masih terus terjadi sejak tengah malam hingga dini hari pukul 04.00. Kemudian terjadi letusan yang sangat besar pada pukul 05.30, dan waktu tiba gelombang udara terekam pukul 05.43 di Batavia Gas Works. Gelombang tsunami mencapai Teluk Betung (Bandar Lampung) pada pukul 06.30. Dampak dari tsunami tersebut, Merak; Anyer dan Caringin hancur dan 10.000 orang meninggal terseret gelombang air akibat letusan Krakatau. Letusan besar juga terjadi pada pukul 06.44, terekam di Batavia gauge records air wave pada pukul 06.57. Stehn (1929) menyimpulkan bahwa rangkaian letusan tersebut telah menghancurkan Perbuwatan yang terletak di sebelah utara Pulau Rakata. Letusan paling besar terjadi pada pukul 10.02 dan terekam pada Gasometer di Jakarta pada pukul 10.15. Letusan tersebut menghasilkan kolom abu letusan mencapai ketinggian 92.6 km, hujan abu terjadi pada area dengan luas lebih dari 820 ribu kilometer persegi (Simkin & Fiske, 1983; De Neve, 1981). Letusan besar lainnya terjadi pada pukul 10.52 dan 16.24 (De Neve, 1981). Letusan pada pukul 10.02 dan pukul 10.52 telah menghancurkan Danan dan sebagian dari Rakata (Stehn, 1929). Kelima letusan besar tersebut menyebabkan Perbuwatan, Danan dan sebagian besar dari Rakata hilang. Letusan G. Krakatau terdengar jelas di Singapura dan Australia bahkan sampai ke Pulau Rodriguez, sekitar Teluk Madagaskar, yang berjarak 5524 km dari Krakatau serta menimbulkan gelombang tsunami dan aliran piroklastika.
Sekuen dari laporan letusan, tsunami dan aliran piroklastik pada 26 - 27 Agustus 1883. Besarnya magnituda letusan, yang terekam di Gasometer Batavia, secara relatif ditunjukkan oleh panjangnya panah. Tinggi kolom letusan ditunjukkan pada sumbu Y (dimodifikasi dari Self dan Rampino, 1981)
Tekanan gas tinggi mengakibatkan hilangnya Perbuwatan, Danan, dan sebagian Rakata serta menyemburnya jutaan meter kubik material batuapung yang menghempaskan air laut sehingga menimbulkan gelombang pasang (tsunami) dengan ketinggian lebih dari 30 meter, merusak pulau-pulau di Selat Sunda dan sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat. Di Teluk Betung ketinggian gelombang tsunami mencapai 26 meter, dan menyeret kapal laut "Berauw" sejauh 2 km ke darat. Ketinggian gelombang di Selat Sunda sekitar 19,5 - 30 meter, dan di Pantai Merak mencapai lebih dari 39 meter. Letusan G. Krakatau tahun 1883 tersebut juga menghasilkan aliran piroklastik serta surge yang bergerak diatas permukaan laut. De Neve (1984) dalam Sutawidjaja (2006) menyebutkan bahwa letusan G. Krakatau pada Agustus 1883 tersebut sebanding dengan 21.574 kali kekuatan bom atom dan menyebabkan perubahan iklim global. Bumi mengalami kegelapan selama dua setengah hari akibat abu vulkanik yang menutupi atmosfer. Suhu udara di beberapa wilayah bumi selama lebih dari satu tahun lebih dingin akibat sinar matahari terhalang abu vulkanik.
Perubahan morfologi terjadi pada Komplek G. Krakatau antara sebelum dan sesudah letusan tahun 1883. Perubahan tersebut dipetakan pada September 1883. Setelah terjadi letusan, bagian utara dari G. Rakata hilang sedangkan Pulau Panjang dan Pulau Sertung bertambah besar akibat material jatuhan batuapung yang mempunyai ketebalan mencapai 60 – 80 meter pada pulau tersebut. Pulau Steers dan Calmejer di Selat Sunda terbentuk dari batuapung hasil produk letusan, yang kemudian setelah beberapa tahun menghilang akibat erosi. Pendangkalan akibat pengendapan produk letusan juga terjadi di laut sekitar G. Krakatau.
Verbeek (1885) menyebutkan bahwa luas G. Rakata yang hilang adalah 22.851 km². Penambahan area Rakata di bagian selatan yang merupakan material produk letusan mempunyai luas 4.647 km² dan luas total Rakata pada Oktober 1883 adalah 15.332 km². Luas Pulau Sertung sebelum letusan 3.716 km² menjadi 11.810 km² setelah letusan Agustus 1883. Pulau Panjang yang awalnya memiliki luas 2.897 km² menjadi 3.203 km².
ALIRAN PIROKLASTIKA
Aliran piroklastika adalah hasil letusan gunungapi yang berupa campuran batuan dan gas bersuhu tinggi, (> 400ºC), dan mempunyai kecepatan tinggi. Aliran piroklastika biasanya berasosiasi dengan surge. Surge merupakan campuran material halus dan gas yang dapat bergerak cepat dengan suhu lebih dari 200ºC. Pada suatu aliran, surge berada di bagian atas dan depan aliran piroklastika, serta alirannya tidak dikontrol oleh topografi, tidak demikian halnya dengan aliran piroklastik yang dikontrol oleh topografi. Jejak aliran piroklastik akibat letusan Krakatau pada Agustus 1883 terekam pada endapan aliran piroklastik yang ditemukan di Pulau Sebesi, Sebeku dan Lagoendi, di utara Krakatau.
Distribusi endapan aliran piroklastika Letusan Krakatau 1883 (dimodifikasi dari Carey, et al., 1996)
Verbeek (1885) menyebutkan bahwa area yang terkena aliran piroklastika dan surge mengalami kehancuran total. Diperkirakan 2000 orang tewas di Sumatera bagian selatan oleh "abu panas" atau surge dan 3150 jiwa meninggal akibat terkena aliran piroklastik pada pulau-pulau antara Krakatau dan Sumatera (Kusumadinata, 1979). Pada pagi hari tanggal 27 Agustus 1883, beberapa saksi mata menuturkan adanya keganjilan pada letusan Krakatau ketika pantai selatan Sumatera terlanda abu panas dan keadaan menjadi sangat gelap (Furneaux, 1964). Saksi mata yang berada di Bukit Rajabasa menyaksikan abu panas yang membakar apapun yang dikenainya. Beberapa kesaksian lain mengenai terjadinya badai serta abu di atas permukaan laut pada pagi hari tanggal 27 Agustus, ditemukan dalam buku catatan kapal laut yang berada di Selat Sunda pada 26 - 27 Agustus. Kapal Loudon yang berada sekitar 65 km sebelah utara - timurlaut Krakatau menyebutkan bahwa kapal tersebut terkena badai dan jatuhan tephra pada pukul 10.30, hujan abu yang sebelumnya kering berubah menjadi hujan lumpur yang sangat deras dimana tebalnya mencapai 15 cm hanya dalam waktu 10 menit. Kapal laut W.H. Besse yang berjarak sekitar 80 km sebelah timur - timurlaut Krakatau mengalami hal yang serupa dan disertai bau sulfur menyengat (Carey, dkk., 1996). Aliran piroklastika letusan Krakatau mengalir di atas permukaan laut ke segala arah sepanjang 40 - 80 km dari pusat letusan dan luas area yang terkena dampak sekitar 4000 km² (Carey, dkk., 2000).
Arah Aliran Piroklastik pada 27 Agustus 1883 (dimodifikasi dari Valentin & Fisher, 2000)
TSUNAMI
Tsunami besar akibat letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883 terjadi pada pagi hari, sekitar pukul enam, dan setelah terjadi letusan terbesar pukul 10.02. Furneaux, 1964, memperoleh keterangan bahwa dentuman Krakatau terdengar di Teluk Betung sesaat setelah pukul 10.00 dan gelombang pasang mencapai kota Teluk Betung pukul 11.03, mengakibatkan kerusakan berat kota tersebut dan mengakibatkan korban ± 5000 jiwa, diantaranya 3 orang kebangsaan Eropa dan 2.260 orang penduduk setempat. Kota Merak yang terletak di Semenanjung Banten, dilanda gelombang pasang setinggi 30 m dan 40 m. Gelombang pasang ini juga menyapu Teluk Semangko sesaat setelah memporakporandakan Teluk Betung, namun gelombangnya tidak setinggi yang ke arah Teluk Betung. Tetapi gelombang tersebut cukup menghancurkan daerah sepanjang garis pantai dan merusak banyak perkampungan serta mengakibatkan korban jiwa, diantaranya 2.500 penduduk tewas di Kampung Benewani, 327 hilang di Tanjungan dan Tanot Baringin serta 244 jiwa di Beteong. Di Banten, seluruh pantainya terlanda gelombang pasang, mengakibatkan rusaknya banyak perkampungan dan menewaskan penduduk. Pada peristiwa ini tercatat 1.974 penduduk setempat tewas (Kusumadinata, 1979). Walaupun belum ada kota-kota besar disepanjang pantai, tetapi 297 kota kecil (kota kecamatan) hancur terlanda tsunami yang menewaskan 36.417 jiwa (De Neve, 1981; Kusumadinata, 1979).
Daerah yang diarsir merah merupakan daerah terlanda tsunami Agustus 1883 (dimodifikasi dari Verbeek, 1885 dalam Simkin & Fiske, 1983)
Verbeek (1884 dan 1885) mempelajari tsunami Letusan Krakatau Agustus 1883, melalui catatan gelas ukur dari seratus pelabuhan dan menyimpulkan bahwa efek tsunami menyebar ke seluruh dunia. Ia berpendapat bahwa kecepatan penyebaran tsunami bergantung pada kedalaman laut dan samudera. Efek resonansi dan kembalinya tsunami mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar laut secara bergantian.
Pada watergauge di Tanjung Priuk, Jakarta tercatat bahwa antara 27 Agustus pukul 12.00 dan 28 Agustus pukul 24.00, terjadi 18 kali gelombang air pasang yang berhubungan dengan letusan Krakatau (Verbeek, 1884 dalam Sutawidjaja, 2006). Ia menyebutkan bahwa pada 27 Agustus, pukul 12.16 terjadi gelombang pertama dengan ketinggian lebih dari 2 m. Gelombang tertinggi tercatat 3,15 m pada pukul 12.30, kemudian menurun pada pukul 13.30 menjadi 2.35 m. Pada pukul 14.30 kembali tercatat gelombang pasang setinggi 1.95 m dan menurun menjadi 1,5 m. Gelombang pasang berikutnya terjadi pada pukul 16.30 setinggi 1,25 m dan menurun pada pukul 17.30 setinggi 0.4 m. Verbeek (1884) juga mencatat bahwa di Padang, Sumatera Barat, tsunami terjadi pertama kali pada pukul 13.25, kemudian disusul gelombang kedua pada pukul 14.20. Gelombang ketiga merupakan gelombang tertinggi, 3.52 m terjadi pada pukul 15.12. Antara 27 Agustus, pukul 12.00 sampai 28 Agustus, pukul 7.30 tercatat 13 kali gelombang air pasang.
Berdasarkan berita yang dihimpun dari laporan seluruh dunia, Verbeek (1885) memperhitungkan bahwa penyebaran tsunami yang tertinggi mempunyai kecepatan antara 540 sampai 810 km/jam. Tsunami mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah barat dan timur, kemudian dipantulkan kembali sebanyak 6 kali dari catatan watergauge yang terpasang di seluruh dunia. Gelombang tsunami akibat erupsi Krakatau ini juga bergerak ke arah barat menuju Samudera Hindia mencapai Cape of Good Hope, Afrika Selatan, kemudian ke arah utara menuju menuju Samudera Atlantik. Gejala tsunami ini juga ditemukan di Cape Town, Afrika Selatan, sejauh 13.032 km dari G. Krakatau dan hampir teramati di seluruh pantai di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Pengukur tinggi gelombang di Pelabuhan Cape Horn, Chili (14.076 km) dan Panama (20.646 km) menunjukkan terjadinya gelombang pasang dengan kecepatan rata-rata 720 km per jam, bahkan dilaporkan bahwa tsunami tersebut mencapai Selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau (Kusumadinata, 1979).
Tsunami terbesar yang terjadi akibat Letusan G. Krakatau tahun 1883 terekam di watergauge Tanjung Priuk, Jakarta, pada pukul 12.16 dan 12.30. Yokoyama (1987) melakukan pemodelan penjalaran gelombang tsunami dan menyebutkan bahwa tsunami yang terekam di watergauge Tanjung Priok berasal dari letusan Krakatau pukul 09.46 dan 10.07 (Yokoyama, 1987), dan membutuhkan waktu sekitar 150 ± 10 menit untuk mencapai Tanjung Priok.
Beberapa pendapat dikemukakan mengenai penyebab terjadinya tsunami. Stehn (1939) mengemukakan bahwa tsunami terjadi akibat runtuhan gunung api atau longsoran di dasar laut oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini menekan air laut sehingga menyebabkan terjadinya tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai selatan Sumatera. Pendapat lain menyimpulkan bahwa tsunami terjadi akibat runtuhan sektoral dari bagian utara G. Rakata dalam skala yang besar (Verbeek, 1885; Self & Rampino, 1981; Camus & Vincent, 1983).
Simulasi penjalaran gelombang tsunami pada Letusan Karakatau Agustus 1883 (dimodifikasi dari Yokoyama, 1987)
Francis (1985) menyebutkan empat mekanisme penyebab tsunami yaitu: lateral blast, longsornya sebagian besar tubuh Rakata bagian utara, letusan bawah laut dan aliran awan panas/ aliran piroklastika. Yokoyama (1987) mengemukakan bahwa penyebab tsunami berkatian dengan letusan bawah laut yang menerus dan terjadi secara terus menerus selama 20 - 30 menit. Kejadian tersebut menimbulkan gelombang air yang sangat besar yang selanjutnya menjadi tsunami.
PRODUK LETUSAN KRAKATAU 1883
Verbeek (1885) memperkirakan sejumlah 18 km³ abu dan material vulkanik lain dilontarkan setinggi 50 - 90 km dan diendapkan sebagai hasil dari letusan G. Krakatau 1883. Abu mulai jatuh di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 1883 pukul 10.39, dan hujan abu semakin hebat sejak pukul 12.30 yang membuat hari menjadi gelap sampai pukul 13.00 (De Neve, 1981). Pada daerah di sekitar Krakatau, terjadi kegelapan total selama 2.5 hari. Endapan produk letusan dengan ketebalan rata-rata 30 meter terendapkan dalam radius 15 km dari Krakatau. Ketebalan abu berkisar 1 - 5 cm di Pantai Jawa, dan kurang dari 0.5 cm di Jakarta dan Bogor, sedangkan ketebalan abu di Lampung mencapai 20 cm. Produk letusan didominasi oleh batuapung dimana pada pulau-pulau sekitar Kompleks Krakatau, ketebalannya mencapai 60 - 80 meter. R. Breon, pemimpin ekspedisi Perancis, yang melakukan ekspedisi ke Krakatau pada Mei 1884 menyebutkan bahwa ketebalan produk letusan di bagian barat Pulau Krakatau mencapai 80 meter (Simkin & Fiske, 1983).
Sebaran abu Letusan Krakatau 1883. Angka menunjukkan ketebalan abu dalam milimeter (dimodifikasi dari Verbeek, 1885 dalam Simkin & Fiske, 1983).
Partikel abu vulkanik halus mencapai atmosfir dan tertiup ke arah barat dengan kecepatan sekitar 121 km/ jam, sehingga dalam waktu 14 hari mengelilingi daerah yang luas sepanjang khatulistiwa dan dalam waktu 6 minggu penyebaran abu mencapai garis lintang 30º Utara dan 45º Selatan (Winchester, 2003). Abu vulkanik yang tersebar di atmosfir Kanada mengakibatkan terjadinya efek warna-warni karena pemantulan cahaya matahari dan mempengaruhi iklim setempat. Pengaruh tersebut mencapai puncaknya pada Desember 1883. Fenomena tersebut dilukis oleh Frederic Edwin Church dengan judul “Sunset over the ice on Chaumont Bay, Lake Ontario”. Kejadian ini secara berangsur berubah dan terjadi dalam waktu yang lama. Kondisi normal kembali pada tahun 1886.

2 komentar:

  1. etusan krakatau ni benar2 sangat mengerikan ya gan..?
    makasih atas informasinya gan..

    BalasHapus
  2. dan anak krakatau menyampaikan kabar tsunaminya di 22 Desember 2018

    BalasHapus